RADIO ONLINE YUNUS, BERISI LAGU ROHANI
RADIO YUNUS.............
 

Mei 98 Takkan Terkuak

Lima belas tahun lalu atau 12 Mei 1998, situasi Indonesia, khususnya Ibu Kota Jakarta sedang genting. Demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto kian membesar tiap harinya. Dan kita tahu, aksi itu akhirnya melibatkan rakyat dari berbagai lapisan.
Peristiwa tersebut disiarkan secara luas oleh media massa Indonesia dan internasional. Salah satu momentum penting yang menjadi titik balik perjuangan mahasiswa adalah peristiwa yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie.
Beberapa aksi simbolik menandai demonstrasi ini. Di antaranya penurunan bendera Merah Putih menjadi setengah tiang sebagai pertanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa. Tewasnya keempat mahasiwa tersebut tidak mematikan semangat rekan mereka lainnya. Justru sebaliknya, menimbulkan aksi solidaritas seluruh kampus di Indonesia.
Puncak perjuangan tersebut ketika Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Sayangnya, walaupun sudah berlalu 15 tahun, penuntasan kasus tragedi Trisakti, dan juga Semanggi I dan Semanggi II tak kunjung selesai.
Kini m,enginjak 15 tahun sejarah itu dibuka kembali oleh Mahasiswa dan siswi di Kampus Trisakti Kamis (10/5), melakukan long march ke Gedung DPR/MPR Jakarta Selatan. Aksi berjalan kaki dimulai dari Kampus Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, menuntut pengusutan Kasus Trisakti. 
Massa mahasiswa diperkirakan berjumlah 5.000 orang sudah berada di depan Gedung DPR. Selain berjalan kaki, mahasiswa pun menggunakan sejumlah bus dan kendaraan pribadi. Massa memenuhi ruas jalan raya, dari Jalan Letnan Jenderal S. Parman Jakarta Barat hingga Jalan Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta Selatan.
Mahasiswa membawa empat tuntutan, agar pelaku penembakan mesti diusut dan dihukum, menyeret Jendral Wiranto, Feisal Tanjung, Syarwan Hamid, dan R. Hartono sebagai dalang penembakan, pengibaran bendera setengah tiang pada 12 Mei mendatang di seluruh Indonesia, dan Panitia Khusus Kasus Trisakti mesti dibubarkan. Menurut para demonstran, pansus tak efektif bekerja dan hanya meminta klarifikasi saja, tanpa pengusutan jelas.
Sementara itu, Kontras melihat cenderung tak ada perubahan, semua proses masih melibatkan satu politisisasi yang cederung menguat belakangan ini. Karena, masih kita akui semua data berkas itu sudah berada di kejaksaan agung tinggal disidik saja. Tapi ternyata kecenderungan mengabaikan kasus tragedi Trisakti ‘98 masih sangat tinggi. Meskipun beberapa capaian secara normatif sudah kita lakukan.
“Misalnya, kita sudah punya UUD tentang HAM No. 39 Tahun 1999, UUD tentang Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000, bahkan yang terbaru Kontras sudah menandatangani tentang Konvesi Anti Penghilangan Paksa, tetapi kita belum merativikasinya. Jika sekedar normatif-normatif begitu saja sama saja bohong, harus ada implementasinya yang lebih kuat,” tegas Puri Kencana, Koordinator Kontras.
Puri menuturkan, langkah yang dilakukan untuk penegakan HAM di Negara Indonesia. Harus ada kemauan politik dari Susilo Bambang Yudohyono (SBY) untuk segera mengefektifkan aparatnya-aparatnya yang begerak di bidang hukum dan HAM, dalam hal ini misalnya, Drijen HAM di bawah Kementrian Luar Negri (Kemendgri), kemudian ada Kejaksaan Agung (Kejagung), Komnas HAM, dan kepolisian.
“Itu harus di perkuat sinerginya. Jangan insistusi-isnsistusi negara berjalan masing-masing tanpa tahu kita punya tujuan apa untuk penegakan HAM. Khususnya bagi peristiwa masa lalu, kasus  pelanggaran HAM di masa lalu, dan pelanggaran-pelanggara aktual yang terjadi saat ini,” tandas Puri.
Kepercayaan dan rasa saling hormat menghormati sudah hilang dari masing-masing individu kehilangan ruhnya.
“Bagaimana kita sesama warga memandang warga yang lain memberikan ruang aspirasi kepada warga yang lain itu sudah kehilangan Ruhnya,” ungkap Puri.
                 
Gunakan UU Statuta Roma
Tragedi Trisakti sebenarnya bisa diusut sejak tahun 2002, sejak Pansus Trisakti dibentuk oleh DPR. Namun indikasinya, Pansus tak berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan korban Tragedi Mei ‘98. Hasil kesimpulan Pansus tersebut hanya kepada klarifikasi, padahal bukti sudah banyak menjurus kepada oknum-oknum aparat yang diduga sebagai komandan, sebagai dalang di belakang penembakan empat mahasiswa Trisakti.
Rio, Alumni Trisakti menjelaskan, sebenarnya Pemerintah Indonesia sudah bisa menyeret mereka ke kursi pesakitan di pengadilan. Namun political will di Indonesia masih belum terlihat dari beberapa Presiden, era Habbie hingga saat ini. Sempat mau dibongkar pada pemerintahan Presiden Gus Dur, namun beliau dilengserkan.
“Political will dalam arti, jika ingin mengusut tragedi Trisakti, nama kredibilitas Indonesia di mata internasional akan jelek. Tetapi jika kita terus mengandalkan hukum nasional sudah pasti tak akan bisa terbongkar,” ujar Rio.
Pengadilan Adhoc pernah dibentuk cuma sebatas serimonial semata, hanya untuk menyenangkan keluarga korban. Dalam prakteknya tetap tak berjalan. Komnas HAM beberapa kali menyelidiki kasus HAM berat, tetapi tak menujukan titik terang bagi keadilan para korban.
“Kooptasi dari penguasa agar kasus Tragedi Mei 98 ini tak terbongkar secara keseluruhan. Sejarah sengaja tak diluruskan. Dan dari segi aspek internasional, jika terbukti Indonesia melakukan tindakan HAM berat, apalagi sampai terbukti oknum aparat sebagai pelaku, pasti kredibilitas Indonesia dalam hubungan internasional akan buruk,” tambah Rio.
Lebih lajut Rio mengatakan, jika tetap mengandalkan hukum nasional, maka kasus Tragedi Mei tidak akan pernah tuntas. Sangat disayangkan satu konfensi internasional yang belum diratifikasi oleh Indonesia yaitu Statuta Roma 98.
“Statuta Roma 98 mempunyai ruang untuk menyelesaikan Tragedi Trisakti. Jika hanya mengandalkan hukum nasional bisa dibilang lumpuh. Hukum nasional bisa berlaku kalau ada Political will (itikat baik) dari pemerintah yang berkuasa. Apakah mau mengusut atau tidak? Atau sengaja dibiarkan hingga ditelan bumi,” tegas Alumni Trisakti ini.
Ada keinginan dari mahasiswa Trisakti untuk mendesak DPR agar meratifikasi Statuta Roma, dan kontras sudah mengusulkan itu. Statuta Roma suatu instrument hukum tentang kejahatan kemanusian yang dilakukan oleh aparatur Negara. Tetapi dalam hal ini bukan lagi hukum nasional yang berlaku, melaikan instrumen hukum internasional.
Di situ pelaku dapat diseret ke International Criminal Court of Justice di Den haag, seperti kasus Ruwanda, Kamboja, Yugoslavia saat terjadi pembantaian masal oleh tentara Bosnia. Sebab menurutnya, hukum nasional sudah tidak bisa mengatasi kasus HAM berat di negaranya, sehingga ditarik ke internasional.
Indonesia bisa seperti itu jika hukum nasional sudah tak mampu lagi untuk menyeret pelaku pelanggaran HAM berat dan meratifikasi Statuta Roma, kemudian menyerahkan segalanya dengan mekanisme internasional. Cuma salah satu hal yang paling penting dalam kedaulatan negara, tidak satu pun bangsa di dunia ini yang rela anak bangsanya di adili di hukum internasional, baik mental maupun emosional.
“Memang kasus Tragedi ‘98 tak akan bisa diusut secara tuntas. Karena rezim saat ini terbukti berusaha melupakan itu. Di depan Istana Negara setiap Kamis ada Kamisan dan telah ribuan surat dilayangkan ke Presiden untuk medesak penutasan Tragedi Trisakti. Terlihat hanya sebagai paradox, Pemerintah memberi ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat, namun setelah masyarakat menutut kejelasan hukum terkesan tidak serius menaganinya. Hingga sekarang aksi untuk mengungkap kasus-kasus 98 masih terus berlangsung,” tandasnya.
Sementara itu Rio melihat, Indonesia harus perlu mengingat sejarah, kalau sejarah sudah ditutup-tutupi dianggap tidak ada, sama saja mematikan generasi yang akan datang. Dan Indonesia tak akan bisa maju, sejarah sudah gelap hanya untuk menutupi kredibilitas Indonesia di mata Internasional, dampaknya penidasan pada rakyatnya sendiri.
Sumarsih dan orang tua korban lainnya. Mereka sudah berkomitmen dengan keluarga korban dan akan terus menantikan perjuangan gerakan 98, agenda reformasi, dan penegakan supermasi hukum. Menurut Sumarsih, ketika pelanggaran HAM diatur dalam undang-undang maka itu untuk dituntaskan. “Kami tak pernah berhenti untuk melakukan sesuatu agar kasus pelanggaran HAM berat bisa dibawa ke meja pengadilan sesuai UU yang berlaku,” terang Sumarsih.
“Seperti kata (Alm) Munir, selama Presiden dipegang oleh Presiden yang terkait dengan kasus pelanggaran HAM, jangan harap itu akan dituntaskan,” ungkap Sumarsih. Tetapi keyakinan dan harapan agar kasus pelanggaran HAM berat serta Tragedi Trisakti ‘98 dapat terselesaikan dan keluarga koraban diberikan kepastian hukum  yang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. 
Read more

Kanker Payudara Pria

dr. Stephanie Pangau, MPH
Dok, saya seorang pria berusia 65 tahun, saya baru memperhatikan seminggu ini kalau nipple (puting susu) saya sebelah kiri mengeras dan membesar, tapi tidak ada rasa sakit. Saya menjadi takut, apakah ini yang disebut dengan penyakit kanker payudara pada laki-laki? Apakah penyebabnya? Bagaimana cara penanggulangannya? Atas jawaban dokter, saya ucapkan terima kasih.
Bp. Nadir
Tangerang.
Melihat kondisi Bp. Nadir, saya menyarankan untuk sesegera mungkin memeriksakan diri ke dokter anda.  Mengingat, kondisi seperti yang bapak paparkan memiliki kemungkinan besar terkenan kanker payudara.  Apalagi mengingat usia anda sudah lebih dari 60 tahun. Sebuah penelitian menemukan, dari semua kasus kanker payudara yang ada, sejumlah 2% diantaranya terjadi pada kaum laki-laki, terutama pada mereka yang berusia lanjut.
Amat sangat disayangkan, banyak pria justru tidak waspada dengan gejala-gejala yang ada (mungkin karena terjadinya tanpa disangka-sangka), sehingga mereka sering terlambat untuk berkonsultasi dengan dokter mereka untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Padahal, bila secepatnya terdiagnosis, maka seharusnya keadaan seperti ini bisa tertolong dengan sukses melalui cara-cara perawatan, seperti yang diterapkan pada kasus-kasus kanker pada payudara perempuan.
Bapak Nadir yang terkasih, perlu anda ketahui, bahwa  penyebab kanker (termasuk kanker payudara), sampai sekarang ini belum bisa diketahui dengan pasti, walaupun sebenarnya para dokter di zaman maju ini telah mengetahui jauh lebih banyak tentang masalah kanker.  Namun demikian tetap saja belum bisa mengetahui secara pasti dan menyeluruh, apa yang menyebabkan dimulainya proses penyakit kanker tersebut. Yang baru bisa dipelajari, adalah faktor-faktor pencetus saja, misalnya adakah riwayat penyakit kanker dalam keluarga? Status single? Senang makanan yang berlemak? Atau sering memakan makanan yang mengandung bahan-bahan karsinogenik (penyebab kanker)? Faktor stress yang tinggi dan berlangsung lama? dan banyak kemungkinan yang lain.
Untuk cara penanggulangan masalah ini tidak ada yang bisa dikerjakan untuk membantu seorang penderita kanker sebelum si pasien memeriksakan diri pada seorang dokter. Selanjutnya, setelah benjolan pada payudara ditemukan, maka perlu dilakukan mammografi payudara dan needle biopsy (biopsi jarum). Ketika diagnosis dapat ditegakkan, maka dengan demikian penanganan yang tepat dapat dilakukan. Setelah dilakukan penetapan stadium, tindakan yang paling tepat bagi pasiennya dapat ditentukan.   Apakah dengan operasi, chemotherapy, radiotherapy atau dengan combine therapy dari ketiganya. Untuk diketahui, bahwa dua pertiga dari semua jenis kanker payudara mungkin masih bisa disembuhkan secara sempurna, asalkan tidak terlambat dalam pemeriksaan. Apalagi bila diagnosis bisa dilakukan sedini mungkin, maka kemungkinan sembuh sempurna menjadi 90% atau bahkan lebih.
Demikian jawaban kami, kiranya bisa menjadi berkat dan semangat bagi pak Nadir. TUHAN MEMBERKATI.
Read more

Sadar Diri, Kondisi Dan Situasi

Menjadi seorang pemimpin bukan seperti membalikkan telapak tangan. Setiap pemimpin harus menyadari realita kepemimpinan yang dia jalani.  Alkitab memberi contoh banyak dampak jual beli Injil akibat pemimpin tidak menyadari diri, kondisi atau situasi orang di sekitarnya. Karena itu setiap pemimpin perlu menyadari sedikitnya lima hal penting tentang diri dan lingkungan orang di sekitar kepemimpinannnya. 
Kesadaran pertama adalah soal “kesadaran tentang diri” (my personal).  Sebagai  pemimpin orang perlu mengenal diri, apa yang menjadi kelebihan dan  kekurangannya.  Banyak kelemahan dari para pemimpin justru karena dia tidak sadar tentang kelemahannya.  Yang dilihat hanya apa yang dikerjakan atau apa yang pantas dipuji, tapi dengan sengaja menutup-nutupi kesalahan.  Padahal, ketika kesalahan ditutupi dengan hasil yang dikerjakan, justru menunjukkan bahwa hasil itu tidak maksimal. Pemimpin perlu berkonsentrasi lebih kepada kelemahannya, bukan kelebihan.  Sebab kelebihan memang sesuatu yang sudah memiliki nilai lebih, sudah jago di bidang itu, jadi tak perlu terlalu dipusingkan. Karena itu pemimpin perlu berkonsentrasi di bidang lain, bidang di mana dia lemah untuk makin melengkapi diri, memperbaiki diri, supaya muncul sebagai orang yang selalu mengerjakan satu pekerjaan dengan kesadaran utuh.  Kesadaran tentang apa yang mampu dikerjakan dan apa yang tidak mampu dia garap.  Perlu tahu juga seberapa kuat diri dan sejauh mana keterbatasannya.  Tidak saja mengerti kelebihan dan kelemahannya, tapi juga mengerti batas-batas dari keterbatasannya. 
Kesadaran kedua, adalah sadar “siapa yang dipimpin”.  Pemimpin harus tahu persoalan orang yang ada disekitarnya.  Tidak hanya mengenali diri mereka, tapi juga tahu apa yang menjadi potensi dan krisisnya.  Dengan begitu pemimpin tahu bagaimana membina kerjasama dengan orang-orang yang ada disekitarnya.  Tidak sedikit pemimpin yang terjebak hanya melihat potensi tapi abai melihat krisisnya.  Alhasil, ketika ada suatu masalah, baru pemimpin  krisis orang yang dipimpin yang sebelumnya tidak dilihat dan perhatikan. Kesadaran tidak utuh dalam melihat berdampak pada penempatan yang salah.   Bukan itu saja, seorang pemimpin juga musti tahu orang-orang yang dipimpin kelak akan di bawa ke mana.  Pemimpin harus tahu bagaimana memberi tahu pada orang yang dipimpin.  Sementara yang dipimpin pun tahu ke mana pemimpin akan membawa dia.   Ke mana pemimpin akan mengarahkan dia.  Sehingga orang yang dipimpin pun tahu apa yang menjadi potensi dia dan krisisnya.   
Kesadaran ketiga adalah “Areal”, tempat di mana orang memimpin.  Dalam konteks  dan lokasi budaya seperti apa dia memimpin.  Misal seorang pemimpin hendak memimpin orang di Medan, maka sudah pasti pemimpin harus mempelajari tipikal orang Medan yang keras dan agresif.  Begitu pula ketika memimpin orang di Jawa,  maka kebalikannya, orang jawa lebih kalem, tidak bisa bermain di dalam tataran high speed, kecepatan yang tinggi seperti pada orang Medan.  Mengapa ini penting, karena ketika orang hendak masuk ke kalangan orang jawa, tapi merasa tidak cocok, seyogianya tidak perlu memaksakan diri masuk.  Jangan sampai ketika sudah masuk, baru orang mengatakan bahwa dirinya seperti ini, terserah orang mau terima atau tidak.  Perlu mengerti dulu areal yang akan dihadapi.  Kalau cocok silakan, tetapi kalau tidak, tidak perlu masuk.  Jika sudah mengerti, berarti pemimpin tahu di mana dia berada, dia sadar apa yang akan terjadi dan risiko yang dihadapi.   Apa yang ada di sana, termasuk permasalahan-permasalahannya, itu juga pemimpin perlu tahu.  Bukan sekadar style-nya, tapi permasalahan apa yang akan dihadapi. 
Kesadaran keempat adalah soal “periodal”.  Ini berbicara tentang kapan seseorang itu memimpin.  Apakah sedang revolusi, sedang merdeka, atau dalam kondisi apa, ini pemimpin juga harus tahu. Juga bicara tentang scope yang lebih besar.  Periodal ini membahas tentang seseorang tahu memimpin di daerah mana, tetapi juga musti tahu kondisi krisis yang sedang terjadi di daerah/ tempat itu.  Dalam Periodal tidak saja diperhatikan kondisi krisis, tapi juga tingkat kejenuhan dan keterbatasan diri seseorang, sehingga memiliki kesadaran tentang durasi dia harus memimpin. Tidak perlu mempertahankan sesuatu yang memang tidak lagi tepat.  Karena itu diperlukan kesadaran periodiknya.  Dalam konteks ini seorang pemimpin juga perlu menghasilkan pemimpin-pemimpin muda, sebab Ini sangat penting.  Periodal membuat seorang pemimpin sadar tentang kondisi seperti apa, bagaimana, dan berapa lama waktu yang tepat.
Kesadaran kelima seorang pemimpin harus tahu apa yang menjadi “Goalnya”.  Membincangkan soal alasan orang memimpin atau tujuan seseorang memimpin.  Kalau tidak memiliki tujuan, untuk apa orang memimpin, apakah sekadar untuk gagah-gagahan?  Mungkin orang tahu tujuan memimpin, tapi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dia mampu atau tidak. Kalau mampu, berapa lama, atau bagian apa saja? Pemimpin perlu berhati-hati dalam hal ini agar dapat memberikan sumbangsih yang nyata dalam kepemimpinananya.  Untuk itu semua pihak, khususnya pemimpin perlu mempraktekkannya mulai dari lingkungan terkecil, yakni gereja.  Supaya lingkungan gerejawi memberi suasana kondusif yang memunculkan pemimpin-pemimpin yang punya kesadaran penuh, sehingga dapat memimpin di tengah-tengah areal perjuangan mereka, entah sebagai pengusaha, pegawai negeri, karyawan swasta, atau bahkan pejabat.  Sebagai pemimpin kristen orang dituntut untuk bisa memberikan cerminan, teladan tepat untuk para pemimpin lain  yang masih ganas, buas, yang bernafsu besar, supaya pemimpin lain dapat belajar. 
Untuk dapat memimpin atau menjadi pemimpin, orang hendaknya dapat bersabar.  Orang mungkin dapat maju, dapat populer lebih cepat dari kondisi real, tapi dalam beberapa hal perlu diperhatikan, perlu pelan-pelan, perlu kesederhanaan, selangkah demi selangkah.  Karena, kalau memang sudah waktunya, pasti Tuhan akan buka jalan.  Setiap pemimpin harus menyadari realita kepemimpinan yang dijalaninya.  Atau dia akan menjadi pemimpin yang tersesat atau menyesatkan para pengikutnya. 
Read more

Hati-Hati Punya Anak Di Luar Nikah !

An An Sylviana, SH, MBL*
BAPAK Pengasuh yang terhormat, Adik saya laki-laki, telah beristri dan punya 3 orang anak, pernah selingkuh dengan wanita lain.  Menurut pengakuannya, dia dan wanita yang beragama beda dengan adik saya itu melakukan perkawinan siri dan mempunyai satu orang anak laki-laki (± 2 tahun). Sekarang adik laki-laki saya tersebut telah kembali kepada istri dan anak-anaknya, menyesali segala perbuatannya dan sudah rajin ke Gereja. Yang menjadi permasalahan, sekarang, wanita selingkuhannya tersebut menuntut agar anaknya diakui sebagai anak dari adik saya tersebut. Tentu saja keluarga besar kami berkeberatan dan menolak permintaan tersebut. Bagaimana jalan keluarnya, ya Pak ?
Terima Kasih.
Yadi
Jakarta.
Saudara Yadi yang terkasih, telah banyak kasus-kasus seperti yang dialami oleh adik saudara tersebut. Dan selalu menyisakan masalah-masalah hukum yang berkepanjangan dan mengakibatkan disharmoni kehidupan keluarga dan kerap mengakibatkan kehancuran. Tentu saja hal itu jauh dari tujuan semula dari suatu perkawinan, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Harus diakui, bahwa di Indonesia, saat sekarang ini masih banyak terdapat perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum agama dan kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat sahnya perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu, tanpa melakukan pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian Negara atas akibat dari suatu perkawinan, sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, khususnya pasal 2 ayat 1 dan 2. Kenyataan ini dalam prakteknya jelas merugikan wanita sebagai Istri dan anak-anak yang terlahir dari perkawinan tersebut.
Yang perlu disadari adalah, norma agama atau kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transendental yang bersifat prifat. Sementara Undang-undang (dalam hal ini UU No. 1/1974), merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara, sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh Negara (Pemerintah).
Sebagai akibatnya, terhadap perkawinan yang dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat memberikan perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris dan hak-hak lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adalah terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan suaminya tersebut.
Demikian pula dengan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan juga memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian tersebut adalah terutama tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandungnya (bapak biologisnya) yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Potensi kerugian tersebut jelas terlihat dalam ketentuan pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Keberadaan pasal tersebut sebenarnya telah menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya, dan hal itu merupakan risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan UU No. 1/1974.
Namun, kepastian hukum yang demikian itu saat sekarang ini telah terguncangkan dengan adanya putusan yang sangat KONTROVERSI dari Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana dituangkan dalam putusan perkara No. 46/VIII/2010 tertanggal 13 Pebruari 2012, yang pada pokoknya telah menganulir ketentuan pasal 43 ayat (1) UU No.1 /1974 yang semula berbunyi: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lainnya menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain, menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Putusan MK tersebut saat sekarang ini menuai KONTROVERSI, dan bahkan telah menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. Beberapa organisasi masyarakat telah meresponnya dengan berbagai tanggapan. Ada yang pro, dan ada yang kontra. Sebagai contoh, MUI yang jelas-jelas menolak, karena bagi MUI, implikasi putusan dalam jangka panjang dapat berdampak pada semakin meluasnya perzinahan.
Demikian juga dengan PP Muslimat NU, mendorong agar dilakukan koordinasi antara Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Agama, Mahkamah Konstitusi, MUI dan ormas Islam untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam penataannya.
Dan bahkan, Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang, Banten, saat sekarang ini masih mempelajari dengan seksama permohonan yang diajukan pedangdut Machica Mochtar agar anaknya diakui sebagai anak mantan Mensekneg Moerdiono.
Perlu juga diingat, bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, (final and binding), artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya, pasca putusan MK tersebut, sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali, karena putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap, sejak dibacakan dalam persidangan MK.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Read more

Setengah Hati

Victor Silaen
(www.victorsilaen.com)
MARI bertanya jujur kepada diri sendiri: apakah kita merasa diuntungkan dengan keberadaan sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang kerap beraksi anarkis di tengah masyarakat? Kalau tidak, maka pertanyaan berikut ini patut kita sampaikan kepada Pemerintah dan Polri: mengapa setengah hati membubarkan ormas-ormas anarkistis itu? Tidakkah perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 9 Februari 2011, di Kupang, saat memperingati Hari Pers Nasional, begitu gamblang: agar mencari jalan legal untuk membubarkan ormas-ormas yang sering menimbulkan keresahan? Kepada siapa lagi perintah itu ditujukan kalau bukan para bawahannya di kabinet, termasuk Kapolri? Tapi, mengapa hingga setahun berlalu tak satu pun ormas anarkistis itu yang sudah dibubarkan?
Inilah wajah para pelaksana pemerintahan Indonesia dewasa ini: setengah hati dalam bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang seharusnya disikapi secara tegas. Yang memprihatinkan, para pejabat tinggi dan orang-orang penting itu kerap berdalih terhalang oleh peraturan perundang-undangan yang ada, seolah Indonesia sebentuk negara hukum yang miskin hukum atau hukumnya usang.
Terkait itu Presiden SBY sendiri mestinya mengintrospeksi diri: mengapa perintahnya setahun silam lebih itu tak ditindaklanjuti secara konkret oleh para bawahannya? Adakah dia kurang berwibawa di mata mereka, atau dia sendiri kurang memperlihatkan keteladanan konkret tentang ketegasan dalam memimpin?    
Sekarang coba cermati Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Pada 11 Februari lalu ia mengatakan telah mengeluarkan teguran kedua kepada ormas Front Pembela Islam (FPI) terkait tindakan anarkis mereka dengan memecahkan kaca kantor Kementerian Dalam Negeri, di Jakarta, 12 Januari lalu. Menurut Menteri Gamawan, langkah berikutnya, kalau FPI masih melakukan hal yang sama, terus-menerus mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka pihaknya akan mengambil tindakan pembekuan ormas itu. Jika setelah dibekukan ternyata masih juga melakukan pelanggaran, maka tindakan selanjutnya adalah pembubaran ormas.
Pertanyaannya, mengapa Menteri Gamawan harus menunggu lagi? Seakan tak ada sense of crisis di dalam dirinya. Berdasarkan data Polri, bukankah selama ini FPI sudah berkali-kali melakukan pelanggaran? Bahkan secara tegas, 17 Februari lalu, Jubir Polri Saud Usman Nasution menyatakan bahwa FPI paling banyak melakukan aksi anarkistis selama dua tahun terakhir. Aksi anarkistis yang mengatasnamakan FPI tahun 2010 tercatat sebanyak 29 kasus dan tahun 2011 sebanyak lima kasus. Dulu (31 Agustus 2010), Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) sudah menegaskan bahwa ormas-ormas pelaku kekerasan itu harus dibekukan. Menurut BHD, selain FPI, ormas-ormas yang kerap beraksi anarkis adalah Forum Betawi Rempug (FBR) dan Barisan Muda Betawi. Catatan Polri, sepanjang 2007 hingga 2010, sedikitnya 107 aksi kekerasan dilakukan oleh ketiga ormas tersebut. Atas dasar itu kita patut bertanya, apakah data yang sudah terdokumentasi itu dapat diabaikan begitu saja? Bukankah yang disoroti dulu (era Kapolri BHD) dan sekarang (era Kapolri Timur Pradopo) ormasnya juga sama?
Di sisi lain, Ketua Umum FPI Habib Rizieq sendiri sudah melempar “tantangan”, bahwa FPI siap dibekukan jika memang terbukti melakukan tindakan yang dianggap anarkistis dan kerap meresahkan. ”Kami tidak merasa kebal dengan hukum. Jika kami bersalah, kami siap menerima teguran, dibekukan, bahkan dibubarkan,” kata Rizieq dalam pertemuannya dengan Menteri Agama Suryadharma Ali di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, 17 Februari lalu. Heran bukan, alih-alih pemerintah dan aparat penegak hukum, kok malah ormas yang sudah kerap melakukan aksi anarkistis itu yang bersikap tegas.  
Kita tak dapat menyangkal bahwa FPI selama ini begitu digdaya memerankan diri sebagai kaum vigilante di tengah masyarakat. Vigilante itu sendiri berarti warga sipil yang kerap melakukan aksi penegakan hukum menurut versinya sendiri dan dengan caranya sendiri. Dalam beraksi, mereka biasanya berkelompok, dengan jumlah anggota yang relatif banyak. Kekuatan massa itulah yang membuat mereka menjadi berani dan bahkan garang ketika beraksi. Norma-norma masyarakat, bahkan hukum positif, dengan mudahnya mereka langgar.
Atas dasar itu maka keberadaan kaum vigilante dapat disimpulkan sebagai masalah sosial sekaligus duri dalam penegakan hukum di negara hukum ini. Pertama, karena mereka bukanlah orang-orang yang berotoritas dalam menafsirkan hukum. Kedua, dan ini yang utama, karena mereka bukanlah aparat penegak hukum yang diberi otoritas
secara sah oleh negara untuk melakukan aksi-aksi penegakan hukum. Atas dasar itu maka kita harus memandangnya begini: bahwa di saat-saat kaum vigilante itu beraksi, otoritas polisi sebenarnya telah dicuri. Di saat-saat itu pula sebenarnya kewibawaan polisi
telah dilecehkan.
Dalam perspektif politik, salah satu fungsi negara adalah melaksanakan penertiban (law and order). Untuk itu maka negara memiliki kewenangan untuk memaksa, juga monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (Weber, 1958). Itu berarti, jika dalam realitasnya negara tidak melakukan pencegahan terhadap ormas-ormas yang kerap beraksi anarkistis, maka sesungguhnya negara telah melakukan kejahatan. Itulah yang disebut kejahatan melalui tindakan pembiaran (crime by omission).
Berdasarkan itu maka selayaknyalah jika kaum vigilante itu disikapi secara koersif. Tak perlu mencari-cari alasan bahwa pembekuan, bahkan pembubaran, ormas-ormas anarkistis itu terhambat UU Ormas No. 8/1985. Bukankah UU  itu sendiri mengisyaratkan bahwa setiap ormas harus menjunjung tinggi Pancasila? Jadi, jika sebuah ormas sudah secara terang-benderang menunjukkan diri mereka pro-kekerasan, tidakkah itu sebenarnya dapat dianggap bertentangan dengan Pancasila dan karenanya dapat diberi sanksi tegas?
Tak pelak, Pemerintah dan Polri harus berani melakukan terobosan hukum jika tak ingin masalah vigilante ini berlarut-larut. Tak perlu menunggu revisi UU Ormas. Apalagi, menurut staf ahli Badan Legislasi DPR Abdul Kholik, desakan kepada pemerintah untuk merevisi UU tersebut sebenarnya sudah sejak 17 tahun lalu. “Tapi tidak ada penyelesaian, sampai akhirnya DPR memutuskan untuk menyusun sendiri revisi tersebut.”
Harus diingat, salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat kontrol sosial. Itu berarti, hukum yang tak pernah sempurna sebagai tata peraturan itu harus mampu menyesuaikan diri terhadap realitas sosial yang dinamis. Di situlah terkandung sifat fleksibilitas hukum, yang berarti kebijaksanaan. Sedangkan hukum itu sendiri adalah kebijakan. Maka, agar kebijakan tersebut senantiasa berdampak positif bagi masyarakat, pelaksanaan hukum haruslah disertai dengan kebijaksanaan.
      Sebagai contoh begini. Jika Anda berkendara di jalan tol selepas Pintu tol Karang Tengah menuju Slipi, Jakarta Barat. Di bilangan Meruya, setiap Senin sampai Jumat pada jam-jam sibuk di pagi hari, Anda boleh berbelok ke kanan lalu masuk ke jalan dengan arus yang berlawanan (contra flow). Jadi, khusus pada satu lajur itu, setiap pengendara diperbolehkan berjalan melawan arus. Tapi, keistimewaan itu hanya berlaku pada waktu-waktu tertentu yang dianggap sibuk saja. Itu pun hanya berlaku di pagi hari (di sore hari contra flow tidak berlaku).
Siapakah yang membuat peraturan “aneh” itu? Polisi. Tujuannya, untuk mengurangi tingkat kemacetan di sepanjang jalan dari Meruya menuju Slipi. Itulah kebijaksanaan, yang dilaksanakan secara fleksibel demi kebaikan bersama. Jadi, meski pada hari Senin sampai Jumat dan di pagi hari, namun jika saat itu sedang liburan, kebijaksanaan tersebut dengan sendirinya tak diperlukan.
Jelaslah, yang diperlukan adalah keberanian dan kreativitas untuk mencari terobosan hukum. Jika Polri bisa, Mendagri pun harus bisa. Bukankah pada 3 November 2009, ketika sedang membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta, Gamawan Fauzi pernah berkata: “Kita bisa menerobos hukum.” Kalau begitu maka dalam konteks pembekuan dan pembubaran ormas-ormas anarkistis, tidakkah kita juga bisa melakukan hal yang sama secepatnya?
Pemerintah dan Polri mestinya sadar bahwa selama ini masyarakat sudah berupaya mempertahankan diri dari aksi-aksi kekerasan yang kerap dilakukan ormas-ormas anarkistis itu. Di balik itu mereka mencatat bahwa negara dan aparat keamanannya kerap absen dan bahkan melakukan pembiaran. Namun, kesabaran ada batasnya. Maka, jangan heran jika masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah berunjuk sikap pada 10 sampai 12 Februari lalu. Ribuan orang turun ke jalan demi menyatakan penolakan mereka terhadap FPI. Puncaknya, Minggu 12 Februari lalu, dengan mengenakan pakaian adat dan senjata di tangan mereka bersesakan di Bandara Riwut Cilik siap menyambut kedatangan empat pemimpin FPI yang sedianya akan menghadiri pelantikan pengurus organisasi mereka di Palangkaraya.
Dua hari berselang, di Jakarta, sejumlah aktivis anti-kekerasan berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia untuk mendeklarasikan gerakan “Indonesia Tanpa FPI”. Lima hari sesudahnya, giliran Riau yang menyerukan penolakan terhadap ormas-ormas pro-kekerasan itu. “Ormas seharusnya adalah wadah untuk masyarakat dalam beraspirasi, namun tetap ada batas-batas yang telah ditentukan. Tidak ada anarkisme yang dibenarkan,” kata Kepala Kesbangpolinmas Riau Zulkarnain Kadir, di Pekanbaru, Minggu lalu (19/2). Dia juga mengharapkan kepolisian dapat bertindak tegas terhadap ormas yang terang-terangan melakukan perbuatan merusak. “Intinya adalah, bila ada ormas yang bertindak melebihi aturan, maka aparat harus menindaknya dengan tegas, terlebih menyangkut kepentingan rakyat banyak dan simbol-simbol negara,” ujarnya.
 Ke depan kita berharap Pemerintah dan Polri sanggup berpikir jernih dan lalu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menyikapi masalah ini. Jika tidak, jangan terkejut jika kelak konflik horizontal tak terhindarkan dan hukum makin tak berwibawa di negara hukum ini.
Read more

Foke Resmikan Gereja Mewah Tiberias

Reformata.com- Gubenur DKI Jakarta, Fauzi Bowo meresmikan Gedung Gereja Tiberias Indonesia yang megah dan Cantik di kawasan Kelapa Gading, arsiteknya jemaat HKBP Menteng Leonard Tambunan, dari Mata Air Persada. Dalam jangka satu setengah tahun Gereja Tiberias sudah terselesaikan.
Bangunan beretnik Romawi modren yang kokoh luas tegab berdiri.  Menurut Yesaya Pariadji Gembala Sidang mengatakan gereja ini berdiri berkat bantuan dari berbagai pihak terutama atas kerja sama dengan Gubenur Fauzi Bowo (Foke).  Ia berharap Foke dapat terpilih lagi menjadi gubenur 2012-2017
“Kami mengucap syukur karena kasih karunianya meresmikan dan mentabisakn atas gereja ini. terimakasi atas pak gubenur dengan memilih tangal 19 sebagai tanggal peresmian dan memiliki arti kemenangan juga bagi bapak gubenur, kami berdoa dan berkumpul untuk memilih Foke agar terpilih ke dua kali menjadi gubenur DKI Jakarta. Serta sesuatu hari nanti menjadi menteri yang hebat,” kata Pariadji, di Jalan Nias Kelapa Gading Jakarta Utara, Selasa (19/6/12).
Sementara itu Fauzi Bowo Gubenur DKI Jakarta, mengatakan  kebijakan pembanguan rumah ibadah di Provensi DKI Jakarta ini mencakup aspek yang sangat luas, pemerintah pusat berkomitmen untuk memberikan kesempatan pada warga Jakarta melakukan ibadahnya sesuai dengan kepercayaan dan agamannya masing-masing tanpa diskriminasi.
ia menambahkan kita terus melakukan pembinan kerukunan antara umat beragama menciptakan suasana kehidupan yang rukun damai, harmoni, dan saling menghormati satu dan yang lain.
“Jakarta merupakan kota yang sangat beragam dan setiap aspirasi umat beragama harus saya apresiasikan secara proposional. Dan mari kita sukseskan pemilihan umum kepala daerah tanggal 11 Juli yang akan datang, kita mohon berdoa pada Tuhan agar Tuhan memberikan yang terbaik bagi Kota Jakarta,” tandas Foke.
Read more