Menjadi seorang pemimpin bukan seperti membalikkan
telapak tangan. Setiap pemimpin harus menyadari realita kepemimpinan
yang dia jalani. Alkitab memberi contoh banyak dampak jual beli Injil
akibat pemimpin tidak menyadari diri, kondisi atau situasi orang di
sekitarnya. Karena itu setiap pemimpin perlu menyadari sedikitnya lima
hal penting tentang diri dan lingkungan orang di sekitar
kepemimpinannnya.
Kesadaran pertama adalah
soal “kesadaran tentang diri” (my personal). Sebagai pemimpin orang
perlu mengenal diri, apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya.
Banyak kelemahan dari para pemimpin justru karena dia tidak sadar
tentang kelemahannya. Yang dilihat hanya apa yang dikerjakan atau apa
yang pantas dipuji, tapi dengan sengaja menutup-nutupi kesalahan.
Padahal, ketika kesalahan ditutupi dengan hasil yang dikerjakan, justru
menunjukkan bahwa hasil itu tidak maksimal. Pemimpin perlu
berkonsentrasi lebih kepada kelemahannya, bukan kelebihan. Sebab
kelebihan memang sesuatu yang sudah memiliki nilai lebih, sudah jago di
bidang itu, jadi tak perlu terlalu dipusingkan. Karena itu pemimpin
perlu berkonsentrasi di bidang lain, bidang di mana dia lemah untuk
makin melengkapi diri, memperbaiki diri, supaya muncul sebagai orang
yang selalu mengerjakan satu pekerjaan dengan kesadaran utuh. Kesadaran
tentang apa yang mampu dikerjakan dan apa yang tidak mampu dia garap.
Perlu tahu juga seberapa kuat diri dan sejauh mana keterbatasannya.
Tidak saja mengerti kelebihan dan kelemahannya, tapi juga mengerti
batas-batas dari keterbatasannya.
Kesadaran
kedua, adalah sadar “siapa yang dipimpin”. Pemimpin harus tahu
persoalan orang yang ada disekitarnya. Tidak hanya mengenali diri
mereka, tapi juga tahu apa yang menjadi potensi dan krisisnya. Dengan
begitu pemimpin tahu bagaimana membina kerjasama dengan orang-orang yang
ada disekitarnya. Tidak sedikit pemimpin yang terjebak hanya melihat
potensi tapi abai melihat krisisnya. Alhasil, ketika ada suatu masalah,
baru pemimpin krisis orang yang dipimpin yang sebelumnya tidak dilihat
dan perhatikan. Kesadaran tidak utuh dalam melihat berdampak pada
penempatan yang salah. Bukan itu saja, seorang pemimpin juga musti
tahu orang-orang yang dipimpin kelak akan di bawa ke mana. Pemimpin
harus tahu bagaimana memberi tahu pada orang yang dipimpin. Sementara
yang dipimpin pun tahu ke mana pemimpin akan membawa dia. Ke mana
pemimpin akan mengarahkan dia. Sehingga orang yang dipimpin pun tahu
apa yang menjadi potensi dia dan krisisnya.
Kesadaran
ketiga adalah “Areal”, tempat di mana orang memimpin. Dalam konteks
dan lokasi budaya seperti apa dia memimpin. Misal seorang pemimpin
hendak memimpin orang di Medan, maka sudah pasti pemimpin harus
mempelajari tipikal orang Medan yang keras dan agresif. Begitu pula
ketika memimpin orang di Jawa, maka kebalikannya, orang jawa lebih
kalem, tidak bisa bermain di dalam tataran high speed, kecepatan yang
tinggi seperti pada orang Medan. Mengapa ini penting, karena ketika
orang hendak masuk ke kalangan orang jawa, tapi merasa tidak cocok,
seyogianya tidak perlu memaksakan diri masuk. Jangan sampai ketika
sudah masuk, baru orang mengatakan bahwa dirinya seperti ini, terserah
orang mau terima atau tidak. Perlu mengerti dulu areal yang akan
dihadapi. Kalau cocok silakan, tetapi kalau tidak, tidak perlu masuk.
Jika sudah mengerti, berarti pemimpin tahu di mana dia berada, dia sadar
apa yang akan terjadi dan risiko yang dihadapi. Apa yang ada di sana,
termasuk permasalahan-permasalahannya, itu juga pemimpin perlu tahu.
Bukan sekadar style-nya, tapi permasalahan apa yang akan dihadapi.
Kesadaran
keempat adalah soal “periodal”. Ini berbicara tentang kapan seseorang
itu memimpin. Apakah sedang revolusi, sedang merdeka, atau dalam
kondisi apa, ini pemimpin juga harus tahu. Juga bicara tentang scope
yang lebih besar. Periodal ini membahas tentang seseorang tahu memimpin
di daerah mana, tetapi juga musti tahu kondisi krisis yang sedang
terjadi di daerah/ tempat itu. Dalam Periodal tidak saja diperhatikan
kondisi krisis, tapi juga tingkat kejenuhan dan keterbatasan diri
seseorang, sehingga memiliki kesadaran tentang durasi dia harus
memimpin. Tidak perlu mempertahankan sesuatu yang memang tidak lagi
tepat. Karena itu diperlukan kesadaran periodiknya. Dalam konteks ini
seorang pemimpin juga perlu menghasilkan pemimpin-pemimpin muda, sebab
Ini sangat penting. Periodal membuat seorang pemimpin sadar tentang
kondisi seperti apa, bagaimana, dan berapa lama waktu yang tepat.
Kesadaran
kelima seorang pemimpin harus tahu apa yang menjadi “Goalnya”.
Membincangkan soal alasan orang memimpin atau tujuan seseorang
memimpin. Kalau tidak memiliki tujuan, untuk apa orang memimpin, apakah
sekadar untuk gagah-gagahan? Mungkin orang tahu tujuan memimpin, tapi
pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dia mampu atau tidak. Kalau mampu,
berapa lama, atau bagian apa saja? Pemimpin perlu berhati-hati dalam
hal ini agar dapat memberikan sumbangsih yang nyata dalam
kepemimpinananya. Untuk itu semua pihak, khususnya pemimpin perlu
mempraktekkannya mulai dari lingkungan terkecil, yakni gereja. Supaya
lingkungan gerejawi memberi suasana kondusif yang memunculkan
pemimpin-pemimpin yang punya kesadaran penuh, sehingga dapat memimpin di
tengah-tengah areal perjuangan mereka, entah sebagai pengusaha, pegawai
negeri, karyawan swasta, atau bahkan pejabat. Sebagai pemimpin kristen
orang dituntut untuk bisa memberikan cerminan, teladan tepat untuk para
pemimpin lain yang masih ganas, buas, yang bernafsu besar, supaya
pemimpin lain dapat belajar.
Untuk dapat
memimpin atau menjadi pemimpin, orang hendaknya dapat bersabar. Orang
mungkin dapat maju, dapat populer lebih cepat dari kondisi real, tapi
dalam beberapa hal perlu diperhatikan, perlu pelan-pelan, perlu
kesederhanaan, selangkah demi selangkah. Karena, kalau memang sudah
waktunya, pasti Tuhan akan buka jalan. Setiap pemimpin harus menyadari
realita kepemimpinan yang dijalaninya. Atau dia akan menjadi pemimpin
yang tersesat atau menyesatkan para pengikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar